Hukum Siapa Lagi Yang Akan Dicari ?


Bila bumi telah letih dan menderita tiada tara karena dikuras atau dirambah tanpa iba, maka manusia yang ada di atasnya menjadi dua strata : sang penguras dan perambah yang punya kuasa dan; orang biasa dan jelata yang tidak punya daya selain hanya  bisa merasa, namun keduanya sama dalam rasa, sama-sama letih dalam hidupnya. Yang pertama letih dan lelah karena yang dicari tidak kunjung membuat bahagia, sementara yang kedua letih dan lelah melihat perilaku saudaranya yang rakus dan tamak seperti hidup tidak akan berakhir dengan kematian. Bumi letih, bumi lelah, manusia letih, manusia lelah, sementara waktu terus berlalu, masa terus berganti, umurpun semakin tua, yang dicari dan yang dikejar semakin jauh, padahal jalan hidup semakin dekat dengan perhentian.

Pergantian tahun dari angka yang kecil ke angka yang lebih besar dimaknai sebagai tahun baru, padahal sebenarnya adalah semakin usang dan semakin lapuk menuju akhirnya masa. Perjalanan hidup bukan surut ke belakang untuk didaur ulang, tetapi maju ke depan menuju lapuk dan usang di makan usia yang semakin tua. Namun sayang seribu sayang. Hidup yang seharusnya semakin arif dengan bertambah jauhnya berjalan, semakin bijak  dengan semakin banyak pengalaman yang dapat dijadikan guru untuk  menyauk hikmah dari semua yang dialami, ternyata justru semakin kemaruk dan kasak kusuk, sehingga tidak tahu lagi apa sesungguhnya yang hendak dicari.

Hidup berputar di situ dan ke situ  lagi, lalu lemah lunglai dan jatuh terhempas karena kehabisan tenaga memperturutkan hawa dan ambisi yang tidak kunjung berhenti. Bagaikan anak-anak yang bermain di tengah halaman, tidak ada tujuan yang hendak dicapai, tidak ada aturan yang hendak diikuti. Semua berjalan sesuai kehendak hawa nafsu, setelah itu, semua jadi usai dan permainanpun berakhir dengan kematian. Itulah hidup orang yang hanya mengejar kesenangan. Dikira hidup cukup hanya di dunia, padahal ia hanyalah tempat lalu dan persinggahan sementara. Akhiratlah tempat hidup yang sesungguhnya. Disanalah akhir segalanya dan disana juga semuanya akan berlangsung secara kekal dan baqa.

Oleh sebab itu, bila akhirat adalah hidup yang sebenarnya, maka aturan Sang Penguasa Akhirat lah yang seharusnya dituruti dan ditaati ketika hidup di dunia. Dialah Yang Maha Tahu tentang dunia dan tentu Dia jugalah Yang Maha Tahu tentang manusia. KemahatahuanNya tentang dunia dan manusia seharusnya diyakini bahwa hukum yang dibuatnyalah yang maha menjamin keselamatan manusia di dunia untuk selanjutnya dibawa ke akhirat sebagai dunia yang kekal dan baqa itu.

Kini, setelah dunia berusia sekian lama, setelah Negara Indonesia berumur lebih dari tujuh dasa warsa, hukum dari Yang Maha Kuasa  seakan dilengahkan dan dipinggirkan. Rekayasa akal-akalan sarat kepentingan seakan mengambil alih semua, menggeser  hukum  dari  Yang Maha Kuasa. Lalu, terjadilah akal-akalan seseorang terhadap seseorang yang lain. Adu akal, adu cerdik  dan akhirnya adu tipu dan daya licik melicik , memainkan permainan iblis, makhluk yang dikutuk Allah karena kedurhakaannya kepada Allah.

Artinya, permainan hidup yang dimainkan bukan menurut aturan dan hukum Allah, melainkan aturan dan hukum iblis, karena yang dimainkan adalah permainan “buatan” iblis. Itulah hukum jahiliyyah, hukum yang kuat menerkam yang lemah; yang cerdik menipu yang bodoh; yang kaya “membeli” yang miskin. Maka adalah wajar, bila dunia semakin rusak, bila Indonesia  semakin sakit, karena tidak ada iblis yang berniat baik untuk manusia, tidak ada iblis yang berhasrat menolong manusia. Iblis tetap iblis , dimana dan bila pun adanya. Tidak ada tujuan yang hendak digapai olehnya, kecuali menyesatkkan manusia agar bisa menjadi teman di neraka. Itulah sebabnya Allah mengingatkan bahwa “iblis itu adalah musuhmu, maka jadikanlah ia sebagai musuh,” jangan mau berteman, walau sekejap. Bila khilaf atau lupa dan terlanjur ikut dengannya, kembalilah ke posisi semula, di jalan Allah, mengambil posisi sebagai musuhnya, musuh yang sesungguhnya.

Sekarang, mari kita bicara tentang Indonesia secara khusus, dan Riau Khususnya lagi, sebagai negeri yang diwariskan oleh pendahulu setelah mengorbankan apa saja yang mereka miliki untuk merebut  kemerdekaan dari tangan penjajah yang telah mencengkram berabad-abad lamanya. Tujuh puluh tahun sudah penjajah pergi, dan selama itu  pula kemerdekaan dikumandangkan. Tetapi  betulkah negeri ini kini telah benar-benar lepas dari jajahan, sehingga bisa menentukan nasib sendiri seperti orang yang bebas dari rasa takut, rasa khawatir, atau rasa dikekang oleh orang lain? Betulkah nasib anak-anak bangsa telah lebih baik dari masa-masa dulu dijajah oleh kaum kolonial? Adakah negeri ini kini telah lebih aman dibanding dari masa-masa penjajahan itu? Betulkah sumber daya alam yang melimpah telah dirasakan oleh anak-anak bangsa sebagai  rahmat yang mengangkat kesejahteraan dan derajat mereka dibanding dulu sebagai bangsa terjajah?

Saya yakin,  tidak seorangpun yang berpikir jernih, jujur dan berwawasan akan memberi  jawaban “sudah”, untuk pertanyaan tersebut. Negeri ini semakin terkuras, semakin menderita dan semakin sakit. Bangsa ini semakin hari semakin kehilangan harapan, diselimuti rasa cemas dan khawatir. Kecuali segelintir orang tertentu, anak-anak bangsa ini semakin merasa ketidakmenentuan nasibnya dan nasib anak cucunya. Masing-masing orang  hanya berpikir untuk menyelamatkan diri dan atau keluarganya sendiri. Ketidakacuhan sosial semakin menjadi-jadi, dan akhirnya memicu kebringasan sosial di hampir seantero negeri.

Lalu, masih belum tiba jugakah masanya untuk menyelidiki dengan hati nurani, kenapa semua ini bisa terjadi seperti ini ? Kenapa negeri orang bertambah baik, minimal tidak semakin sakit seperti kita, tetapi kita menerima nasib seakan-akan ini adalah kehendak dari  Ilahi?

Kalau kita memang mau berjujur-jujur dengan diri, berjujur-jujur dengan nurani, mengabaikan ajaran Ilahi adalah sebab dari semua ini. Kitab suci dibaca setiap hari, tetapi isinya tidak dipedomani. Kisah-kisah rasul dan para nabi diceramahkan dan didendangkan dari hari ke hari , tetapi akhlaknya tidak diikuti. Sejarah syuhada dan para pejuang bangsa dibaca dan ditonton di buku  dan di televisi, tetapi hidup dan keikhlasan mereka tidak diteladani. Hukum Allah dipermainkan, hukum iblis diturutkan.

Hidup bagaikan sinetron yang ditonton, penuh kepura-puraan, dari elite sampai  ke wong cilik. Akibatnya, hidup mengikuti hukum sinetron, yang penting untung besar, tidak peduli orang dirugikan, negeri  ini seperti  tidak bertuan, lalu semua menjadi tuan. Semua memperturutkan kehendak yang mau ia turutkan: di jalan raya langgar rambu-rambu lalu lintas, siapa yang taat dianggap salah; di kantor langgar aturan dan disiplin pegawai, siapa yang tidak mau dicurigai dan disisihkan ; di pasar berbuat curang kepada pembeli, berlaku jujur dimusuhi; di dunia politik berbuat bohong dibuntuti, sehingga akhirnya masing-masing memperturutkan keingingan sendiri-sendiri dengan aturan dan hukum sendiri. Ada aturan dan hukum yang dibuat bersama untuk kepentingan bersama, tetapi dilanggar karena bertentangan dengan kepentingan pribadi, pribadi yang menjadi tuan-tuan di negeri  yang bertuan tetapi tidak bertuan.

Lalu sampai bilakah kondisi ini akan begini? Apa perlukah dibiarkan berlanjut terus sampai akhirnya negeri ini tenggelam ke dalam perut bumi?

Tidakkah kita mau berkeyakinan bahwa sehebat apapun seseorang, tidak akan ada yang mampu menyelesaikan persoalan manusia dalam arti sesungguhnya, bila ia tidak menyertakan Zat yang benar-benar mengerti tentang manusia itu sendiri di setiap usahanya. Zat itu adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa di atas segalanya, bukan iblis yang selalu menyombongkan diri dengan asal penciptaan yang dianggapnya lebih mulia dari manusia. Janganlah kita beranggapan lebih tahu dan lebih berilmu pula dari ilmunya Allah yang tahu segalanya, sehingga akhirnya menyertai iblis itu dalam kesombongan tersebab ilmu dan kekuasaan yang ada pada diri kita. Tidakkah kita mau ikut kepada para pendiri bangsa, bagaimana mereka menerjemahkan firman Allah untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara seperti tertuang dalam Pancasila, falsafah Negara yang mereka wariskan kepada kita.

Apapun yang akan dilakukan, haruslah didasari oleh tauhid, keyakinan tentang kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah. Apapun yang akan dilakukan harus  dilandasi rasa penghargaan yang tinggi terhadap kesamaan dan penghargaan tentang derajat manusia dan kemanusiaan, sebagimana firman Allah bahwa Dia tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan harta, pangkat, suku dan lain sebagainya, kecuali karena ketakwaannya kepada Yang Maha Kuasa. Apapun yang akan dilakukan, harus mengedepankan persatuan bangsa sebagai pengejawantahan dari firman-Nya agar jangan berpecah belah. Apapun yang akan dilakukan, harus dirembugkan terlebih dahulu melalui musyawarah dalam mufakat, sebagai pengejawantahan dalam segala urusan bersama. Apapun yang akan dilakukan, harus diprioritaskan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi sesama manusia, terutama manusia Indonesia, sebagai pengejawantahan dari firmanNya untuk berlaku adil kepada semua manusia.

Itulah sekelumit bukti betapa pendiri bangsa ini menyertakan Allah dalam merancang negara untuk dijadikan pedoman oleh para pelanjutnya dalam membangun bangsa dan Negara di kemudian hari. Tapi, kenapakah kita tidak mau meniru mereka, lalu bermanuver dengan menggunakan akal-akalan, seperti iblis mengakal-akali kita sebagai manusia yang dianggapnya rendah derajat dari derajat mereka sendiri? Marilah gali wahyu Allah, di kitab suci yang pernah diturunkanNya, terutama di kitab terakhir yang diturunkanNya kepada Nabi terakhir pula. Pahamilah wahyu yang ada didalamnya, kemudian terjemahkanlah ia ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agar kesesatan ini tidak semakin jauh seperti diinginkan oleh iblis sang laknatullah. Kalau tidak juga mau, maka hukum siapa lagi yang akan dicari?

Wahai Pemimpin Junjungan Negeriku



Pemimpin suatu negeri tidak ubahnya bagaikan junjungan bagi tanaman. Pada junjungannyalah tanaman bergantung, dan dengan junjungannya pulalah mereka hidup. Di tubuh junjungan mereka berkembang dan berbuah, di tubuh junjungan juga mereka bisa memberi makna kepada yang lain. Namun begitu, bila salah memilih junjungan, dengan junjungan juga mereka jatuh, terinjak orang di atas tanah, akhirnya mati menanggung derita.
Junjungan yang kuat membuat rakyat hidup penuh optimis, walau badai menghempas, walau guntur dan kilat sambar menyambar, petir  menghantam silih berganti. Itulah junjungan sejati, junjungan yang berdiri tegak di hadapan rintangan, junjungan yang tidak takut hancur melindungi rakyat dari ancaman. Itulah tiang sebenar tiang, tiang yang hidup laksana kayu besar di tengah padang. Uratnya menghunjam bumi cari nutrisi, dahannya mengepakkan daun lindungi negeri, pucuknya menjulang langit tangkap cakrawala hantarkan wawasan untuk anak negeri. Tempat berteduh di kala panas, tempat berlindung ketika hujan. Itulah dia pemimpin sejati. Pemimpin yang bukan cari sensasi pemimpin yang sadar bahwa jabatan adalah amanah tempat beribadah kepada ilahi.
Banyak yang pesimis, pemimpin tipe seperti itu kini seakan hanya ada dalam mimpi. Tetapi, bukankah mimpi adalah juga harapan yang mesti diraih walau harus dengan susah payah setiap hari.
Bukankah tokoh-tokoh besar dunia dari dulu sampai kini adalah para pemimpi.
Bukankah para pejuang adalah juga pemimpi.
Bukankah juga mimpi adalah harapan.
Bukan khayalan yang ada di angan-angan. Prestasi-prestasi besar pada umumnya berawal dari mimpi para pejuang di bidangnya masing-masing.
Sehingga, tidak mustahil pula pemimpin yang pada hari ini dilantik sebagai wali kota dan bupati membuat mimpi menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang diidamkan sesuai dengan yang dituntunkan oleh ilahi. Tidak ada yang mustahil selama ada niat yang tulus, untuk apa menjadi pemimpin, selama ada usaha yang sungguh-sungguh, untuk membuat negeri menjadi kuat dan ampuh.
Maka, sempena hari pelantikan para wali kota dan bupati menjadi junjungan negeri, khususnya Riau negeri pertiwi, mudah-mudahan untaian kata berikut ini dapat direnungkan sebagai bagian  kecintaan  dari rakyat yang merindukan keadilan dan kesejahteraan.
Wahai pemimpin junjungan negeri
Junjunglah amanah sepenuh hati
Hayatilah ia sebagai titipan Ilahi
Yang akan ditanya di akhirat nanti.

Ingatlah wahai pemimpin ummah
Riau negeri penuh nikmah Kini  hidup terengah-engah
Karena banyak orang yang berulah.
Jadilah pemimpin diridhai Allah Jauhi sifat orang khianat
Berjanji benar datangkan maslahah  Berlakulah adil tinggalkan serakah.

Wahai pemimpin junjungan negeri
Berdirilah di atas semua golongan Lindungi yang lemah dari kezaliman
Jaga negeri dari kehancuran Niscaya Allah turunkan perlindungan.

Wahai pemimpin bijak bestari
Dengan amanah hendaklah berhati-hati
Karena di situ  terletak kasih atau murka Ilahi
Agar hidup berkah sampaikan nanti.

Wahai pemimpin tempat mengadu
 Dengan rakyat hendaklah menyatu
Jauhi sifat orang penipu
Kepercayaan orang jadikan taruhan imanmu.
  
Wahai pemimpin penjaga negeri
Bertanyalah kepada orang yang mengerti
Bertemanlah kepada orang yang peduli
Jauhi orang yang berhati dengki.

Wahai pemimpin sosok idaman
Berhati-hatilah mengambil teman
Setiap yang dekat belum tentulah aman
 Apalagi  ia banyak kepentingan.

Wahai pemimpin tumpuan rakyat
Ariflah dengan orang dekat
Apalagi ia jauh dari rakyat
Hanya tahu kepentingan sesaat.

Wahai pemimpin hamba Tuhan
Partai politik hanyalah sampan
Janganlah sampai dijadikan tuan
Mengatur arah pemerintahan.
Apalagi penyandang dana
Jangan biarkan menjadi raja
Rakyat merana karena kecewa
Allah murka bencana tiba.

Ingatlah Tuhan sepanjang jabatan
Kekuasaan di tangan amanah Tuhan
Janganlah ia disia-siakan
Di akhirat kelak dipertanggungjawabkan.

Dengan ilmu janganlah jemu
Dengan agama jangan berpura
Kumpulkan ia menjadi satu
Dalam menuntun kebijakanmu.

Jadikan pengalaman sebagai guru
Siapa penipu siapa pembantu
Bila sesat di ujung jalanmu  Kembali ke pangkal janganlah malu.  

Sifat pemaaf tanda terhormat Pakaian orang yang tahu harkat Tujuan hidupnya melindungi rakyat Yang tak suka pun ikut selamat .

Akhirnya tahniah kita ucapkan
saatnya untuk membuktikan Niat dan janji yang telah Tuan ucapkan

Selamat mengabdi wahai tuan-tuan
Peganglah sungguh-sungguh Firman Tuhan
Sebagai pedoman sepanjang jalan
Rakyat menanti penuh harapan.


HIDUP DENGAN TUNTUNAN AL-QUR`AN



Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Alquran sebagai  huda (petunjuk) bagi semua manusia. Ia turun membawa berita gembira, “Siapa  yang berbuat baik akan diberi balasan baik.” Ia juga turun membawa berita peringatan dan Hidup dengan ancaman, “Siapa yang berbuat kejahatan, akan dibalas juga dengan kejahatan.” Orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan, agar mereka terus berbuat baik. Tetapi siapa yang melakukan kejahatan, akan dibalas pula dengan kejahatan, agar mereka berhenti melakukan kejahatan. Maka balasan baik dan jahat mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menjadikan manusia senantiasa menjadi orang baik, dan berhenti melakukan kejahatan.  Inilah artinya bahwa agama Islam disyariatkan oleh Allah untuk tahqiq al mashalah al-nas, mewujudkan kemaslahatan seluruh manusia secara pasti.
Kemashlahatan adalah daf’u al-dharar wa jalb al-manafi’. Mendahulukan pencegahan terjadinya bahaya atau kerusakan daripada mengambil keuntungan. Pertimbangan risiko akan terjadinya kerusakan atau bahaya selalu didahulukan dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan. Inilah prinsip syariat Islam, namun ini pula yang sering dilengahkan oleh umat Islam di di negara-negara orang Islam. Sebaliknya, prinsip ini justru diambil oleh negara-negara maju yang penduduknya bukan muslim, Daf’u al-dharar mereka jadikan motto keselematan kerja dengan slogan safety first. Apa pun yang akan dilakukan, resiko bahaya selalu diperhitungkan terlebih dahulu dan resiko itu pula yang dicarikan cara-cara pencegahannya, sehingga pekerjaan yang dilakukan mendatangkan manfaat besar, dengan faktor risiko kecelakaan yang minimal, sebagai hal-hal yang terjadi diluar perhitungan. Inilah prinsip dar u al-mafasid muqaddam ala jalab al-mashalih. Mencegah terjadinya bahaya dijadian prioritas utama sebelum memperhitungkan keuntungan yang akan diraih. Beda dari orang Indonesia. Lakukan saja dahulu, hantam saja dahulu. Risiko soal belakangan, nanti dihadapi. Nampak hutan luas yang terbentang, segera terbayang keuntungan besar dengan memanfaatkannya, lalu dibakar sesuka hati, tidak peduli orang banyak akan menderita asap dan penyakit. Yang penting untung dulu, mudarat soal nanti, kebalikan dari prinsip Islam yang diturunkan oleh Allah kepada rasulnya, dan yang diajarkan oleh Rasul kepada kita.  Inilah prinsip kufur, yang dihembuskan oleh setan kepada hawa nafsu dan dipraktekkan oleh manusia-manusia jahat yang hanya memikirkan kepentingan atau keuntungan sendiri. Maka, tidak salah banyak statemen yang mengatakan “aku lihat Islam di negeri non muslim, tetapi tidak ku lihat Islam di negeri muslim.

- Copyright © Alaiddin Koto - Skyblue - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -